5 Kerugian Indonesia Jika Membeli Sukhoi Su-35 Bagi Perkembangan Pertahanan
SU-35 Russia |
Berikut analisis redaksi MM tentang 5 kerugian Indonesia jika memilih Sukhoi-35 sebagai pengganti F-5 Tiger.
1. Transfer Teknologi dari Rusia Dipastikan Sangat Sedikit
Kementrian pertahanan rencananya hanya akan memesan 8 pesawat Sukhoi Su-35 dari Rusia. (What hanya 8? mohon dibaca dengan nada kaget ya). Kira-kira dapat tranfer teknologi apa saja? pastinya kurang dari 50% atau malah kurang dari 25% dari teknologi Sukhoi.
Berkaca dari pengalaman India, negara sekutu dekatnya Rusia. Negaranya Rahul Khan tersebut mendapat lisensi untuk membangun sendiri Sukhoi Su-30. Bahkan dalam pengembanganya, India mendesain ulang Su-30 dengan kode MKI dengan menambahkan sayap canard di depan, tujuanya agar mampu menggendong Rudal Brahmos dan melengkapi kemampuan Triad Nuklir, yaitu kemampuan biar bisa meluncurkan rudal nuklir dari Udara, Darat dan Laut.
Su-30MKI dengan modifikasi sayap canard. Foto: defencepk |
Masalahnya ternyata, lisensi tersebut hanya mengizinkan india membuat Sukhoi Su-30 tanpa mengizinkan India membuat suku cadangnya. Walhasil AU India keteteran dalam menyiagakan Su-30 untuk siap terbang dari total 200unit Su-30MKI yang sudah dibuat India, hanya 50%-nya saja yang siap terbang.
Akibanya Su-30MKI sering jatuh karena gagal mesin, suku cadang yang seharusnya sudah diganti belum bisa diganti karena tidak ada barangnya. Ada hampir 4 kali pemerintah India menggrounded Su-30MKI demi keselamatan pilotnya.
Saat meneken kontrak Su-30MKI dari Rusia, India berharap bisa mentrasfer teknologinya dalam pengembangan jet tempur lokalnya, HAL Tejas. Tapi ternyata, effort militer India lebih banyak terkuras pada perawatan MIG-29 dan Su-30MKI. Pengembangan HAL Tejas pun terhenti dan hanya berhasil dibuat 3 unit saja sampai sekarang. Pada saat bersamaan, China dan Pakistan terus menambah kemampuan dalam teknologi pesawat tempur.
Nagh, India yang menjadi partner karib Rusia saja dikasih Transfer Teknologi yang tak utuh. Lalu seberapa besar transfer teknologi yang akan didapat Indonesia yang hanya membeli 8 Su-35?. Transfer teknologi dari Rusia yang kecil bisa tak terserap dalam pengembangan IFX.
2. Kesempatan ToT dari SAAB Gripen akan Diserobot Thailand.
SAAB produsen asal Swedia menjanjikan transfer teknologi 100% untuk pesawat Gripen. Bahkan mereka juga memastikan bahwa separuh dari pesanan, akan dirakit di hanggar PT. Dirgantara Indonesia (PT.DI). Ini akan sangat bermanfaat bagi proyek pengembangan IFX bersama Korea Selatan. Bahkan ada kemungkinan Indonesia bisa membuat pesawat tempur sendiri tanpa bantuan Korea Selatan.
Secara fisik, Gripen mungkin diremehkan karena bermesin tunggal. Tapi keunggulan utama pesawat buatan SAAB ini adalah pada kemampuan jaring radarnya yang terintegrasi dengan semua radar buatan SAAB baik di darat maupun di udara. Saat ini radar pertahanan Indonesia didominasi produk SAAB.
Misalkan, 1 Gripen patroli di Nunukan, Kalimantan dan 1-nya lagi patroli di laut Bali. Apa yang dilihat Gripen di Nunukan bisa dilihat oleh Gripen yang di laut Bali secara langsung. Saat radar Gripen di Nunukan mendeteksi ancaman pada jarak 180KM dari batas teritorial Indonesia, Gripen di laut Bali bisa segera memberi bantuan tanpa komando dari pusat kendali di darat.
Kelebihan lainya, Gripen membutuhkan bisa mendarat dan terbang dengan landasan pacu yang lebih kecil. Untuk operasionalnya, Gripen juga membutuhkan kru di darat lebih sedikit. Ini membuka peluang bagi Indonesia untuk bisa menyembunyikan di pulau manapun dan dengan fasilitas fisik bandara yang minimalis. Saat ini, jika 3 bandara utama dilumpuhkan (Jakarta, Madiun dan Makassar) maka praktis TNI AU sudah tak berkutik.
Dengan transfer teknologi 100% dari SAAB, Indonesia berpeluang untuk memproduksi Gripen dengan biaya yang lebih murah dan membantu pengembangan IFX.
Jika tawaran di atas diabaikan oleh Indonesia, bisa dipastikan SAAB akan menyetujui transfer teknologi yang lebih besar ke Thailand, sejalan dengan rencana Thailand untuk menambah jumlah Gripen yang dimilikinya.
3. Kesempatan Menjadi Basis Produksi F-16 Viper bisa Disabet India.
Lockheed Martin (LM) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS) sedang getol menawarkan F-16 blok 70 (Viper). F-16 Viper dipercaya setara dengan Gripen dalam hal sistem avionik, karena bakal dicangkokan teknologi F-35.
F16 Viper |
LM dan AS membuat program untuk merakit F-16 Viper di luar negeri, dengan pertimbangan tingginya biaya operasional produksi di dalam negeri AS, kapasitas pabrik LM yang sudah penuh dan untuk kepentingan politik AS di kawasan.
India berada di garis depan untuk mendapatkan proyek Viper ini, sejalan dengan program mereka MII (Make in India). Tapi Washington masih menunda deal yang telah terjadi antara India dan LM selaku produsen.
Pihak Washinton malah getol menawarkan proyek Viper ini ke Indonesia, mungkin karena didasari geopolitik di kawasan Asia Pasifik dan Laut China Selatan yang lebih penting. Washington memproyeksikan Indonesia sebagai basis produksi F-16 untuk wilayah pemasaran Asia pasifik.
Yang jadi masalah, F-16 Viper masih dalam bentuk prototype dan belum teruji di lapangan. Tapi sepertinya itu tak jadi masalah bagi adaptasi TNI AU, karena mereka terbukti mampu menyiagakan F-16 walau sedang dalam posisi diembargo militer oleh Amerika Serikat (1999-2005).
Tahun 2003, 2 unit F-16 TNI AU mampu menyergap dan meladeni dog fight dengan 6 jet tempur F-18 Hornet milik AS di atas laut Bawean. Tentu saja posisi-nya lock to lock karena kalah jumlah. Tapi situasi itu menggambarkan bahwa jika F-16 ditembak, maka tembakan balasan mereka juga pasti tidak meleset. Dalam posisi diembargo, ternyata F-16 masih bisa dioptimalkan oleh TNI AU.
4. Malaysia Bisa Memproduksi Eurofighter-nya sendiri.
PT. DI sudah sangat akrab dengan industri aviasi asal Eropa dalam hal kerjasama produksi. BAE (Inggris) selaku pemegang hal jual Typhoon juga sudah mengkonfirmasi bahwa beberapa komponen Eurofighter Typhoon bisa dirakit di Bandung.
Saat bersamaan, Malaysia mengumumkan bahwa mereka hanya punya dua kandidat pesawat, Typhon dan Rafale (Prancis) untuk menggantikan Mig-29 buatan Rusia yang belum terlalu tua tapi sering jatuh. Dalam proposal yang ditawarkan oleh BAE ke TUDM (AU Malaysia) juga menjanjikan transfer teknologi hingga perakitan di dalam negeri jiran.
Eurofighter Typhoon |
eurofighter typhoon saat presentasi di hanggar PT. DI Foto: aviatren.com |
5. Beban Biaya Operasional Su-35.
Berkaca dari kasus Su-27 (5 unit) dan Su-30 (9 unit) yang sekarang ini ada di arsenal TNI-AU. Biaya operasionalnya cukup mahal dengan suku cadang yang tidak selalu tersedia. Setiap 3 tahun (3.000jam) pesawat harus dipreteli untuk diterbangkan ke Belarusia guna menjalani overhaul.
Jika terlalu banyak Sukhoi di arsenal TNI AU, selain mengganggu kesiapan terbang armada tempur juga bisa membebani biaya operasional. Berikut ini perbandingan biaya operasional pesawat generasi ke-4 per-jam:
Nama Pesawat | Biaya Terbang Per-Jam | |
Su-27/30 | $ 14,000 | |
Gripen | $ 3,000 | |
F-16 block 52 | $ 6,000 | |
Eurofighter Typhoon | $ 14,000 | |
Rafale | $ 14,000 |
Fokus pertahanan bisa habis untuk merawat pesawat buatan Rusia yang selain mahal juga susah suku cadangnya. Untuk perawatan Su-27 dan Su-30 TNI AU sudah kewalahan, dari total 16 unit Su27 (5unit)/Su30 (11unit) hanya 8 yang siap terbang.
Penutup:
Membeli Su-35 tidak serta merta meningkatkan daya gentar TNI di udara ASEAN. Malaysia dipastikan akan mendapat transfer teknologi Eurofighter Typhoon. Thailand selain akan menambah jumlah Gripen juga akan semakin maju dalam teknologi radar berkat transfer teknologi dari SAAB.
Saat dua negara di ASEAN mengalami kemajuan teknologi berkat ToT, kemampuan aviasi Indonesia seperti berhenti di tempat meski memiliki Su-35. Indonesia bisa bernasib seperti India, memiliki banyak varian pesawat hebat tapi tak mampu terbang. Sedangkan dua negara tetangga Thailand dan Malaysia akan mengalami peningkatan teknologi, sedangkan Singapura akan semakin meninggalkan dengan JSF F-35.
No comments: